Rabu, 18 Maret 2009

Indonesia Tanah Airku

INDONESIA TANAH AIRKU

(Disadur dari Artikel Karya Dr. Daoed Joesoef, 1985, tanpa merubah isinya)


Dasar dari kata “Indonesia” untuk pertamakalinya diketengahkan oleh G.W. Earl di tahun 1850. Adalah 130 tahun yang lalu dalam suatu tulisan dalam majalah “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia”. Dia adalah seorang ahli ilmu bangsa-bangsa (etnhologist) berkebangsaan Inggris. Adapun kata yang persis digunakannya belum berbunyi “Indonesia” tetapi “Indonesian”, dibentuk dua perkataan Yunani; “Indos” dan “nesos”. Dengan mengambil contoh sebutan “Polynesia”, dia mengambil sebutan “Indonesian” atau “Melayunesian” untuk menamakan unsur-unsur berkulit coklat dari penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara yang ketika itu lazim disebut sebagai “Indian Archipelago” atau “Malayan Archipelago” . Namun setelah menguraikan rasionale dari sebutan ini dia jelas mengatakan lebih menyukai kata “Malayunesia” ketimbang “Indonesian”.

Kata yang disisihkan oleh penciptanyan sendiri itu diambil alih oleh seorang ilmu bangsa-bangsa lainnya yang juga berkebangsaan Inggris, bernama J.R. Logan. Melalui tulisan berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago” yang diterbitkannya dalam majalah yang sama dan masih dalam tahun penerbitan yang sama pula, dia memakai sebutan “Indonesia” sebagai sinonim dengan sebutan “Indian Archipelago” (Kepulauan Nusantara). Kelompok penduduk yang dicakup oleh sebutan “Indonesia” ini menurut Logan tidak hanya ditandai oleh persamaan dalam bahasa-bahasa yang dipakainya, yang berarti pula adanya persamaan dalam unsur-unsur tertentu dari kebudayaannya, tetapi juga oleh persamaan dalam ras.

Untuk bidang penelitian yang baru ini kiranya dipikir perlu adanya kata-kata sebutan baru. Berhubung dengan itu dalam tulisannya itu Logan menganggap perlu mengetengahkan sebutan. Sebutan lainnya lagi, seperti “Asia-nesia”, sebagai sebutan yang mencakup Indonesia, Melanesia, Mikronesia dan Polynesia. Jadi bila Earl menempa kata “Indonesian” dalam artian etnologikal, Logan menggunakan sebutan “Indonesia” dalam artian geografikal murni yaitu mengenai gugusan kepulauan yang khatulistiwa itu sendiri. Menurut pendapatnya perkataan Melayu “nusa” yang berarti pulau, mungkin sama tuanya dengan perkataan Yunani “nesos”.

Di tahun 1877 seorang sarjana berbahasa Perancis, E.T. Hamy memakai sebutan “Indonesia” dalam artian ethnologikal yang lebih spesifik lagi. Dalam karyanya berjudul “Les Alfourous de Gilolo”, sebutan ini dimaksudkan untuk meliputi kelompok-kelompok alamiah tertentu dalam penduduk Melayu yang mendiami gugusan kepulauan ini mengingat “Melayu” sebagai satu kategori ras juga jelas menunjukkan adanya pengaruh-pengaruh Mongool. Kelompok-kelompok penduduk alamiah tersebut menurut Hamy dapat dikatakan pula sebagai “Pra-Melayu” yang meliputi orang-orang Batta (Batak), Dayak, dll. Jadi sebutan “Indonesia” dipakai untuk menunjukkan bagian-bagian tertentu dari penduduk Melayu yang dianggap memang berasal dari kepulauan itu sendiri.

Tigapuluh empat tahun sejak munculnya kata “Indo-nesian”,kata “Indonesia” dimantapkan oleh seorang sarjana Jerman Adolf Bastian, yang oleh Prof. Wilren disebut sebagai “raja dari sarjana-sarjana ilmu bangsa-bangsa”. Kata “Indonesia dipakainya sebagai bagian dari judul karyanya yang terbit di tahun 1884, berbunyi: “Indonesian oder die Inseln des Malayschen Archipels”. Dari judul ini saja jelas bahwa yang dimaksudkannya dengan “Indonesien” adalah tidak lain dari “Kepulauan Nusantara” kita ini.

Mengingat otoritas Bastian di lingkungan masyarakat ilmiah ketika itu, sejak tulisannya ini sebutan “Indonesia” menjadi pengertian yang semakin diterima dalam ilmu pengetahun, terutama ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa. Ini pula yang kiranya menjadi sebab mengapa orang kadangkala keliru menganggapnya sebagai “penemu” dari kata dan sebutan “Indonesia”. Kekeliruan tersebut dapat ditemui, misalnya di “Oosthoeks Encyclopacdie” (1935), di ensiklopedi “winkler Prins” (1935), di “Katholleke Encyclopacdie” (1936), dan di “Encyclopacdie van Nederlandsch Indie” bahkan sampai dua kali (II, 1918 dan V, 1927)

Menolak

Sebagaimana lazimnya dalam dunia ilmu pengetahuan yang tetap menolak sebutan “Indonesia” sesudah adanya penegasan dari Bastian tentu saja ada Brandes, misalnya, dalam tesis doktoral yang diajukannya di tahun 1884 mengakui adanya kebutuhan terhadap satu sebutan yang kurang membingungkan dari sebutan “bagian Melayu”dari keluarga bahasa-bahasa Melayu Polynesia. Walaupun begitu dia tidak dapat menemui yang lebih baik dari sebutan “bagian Barat” sebagai pengganti sebutan “bagian Melayu” yang katanya membingungkan itu. Di pihak lain, sarjana-sarjana Veth dan Pijnappel ketika menerima jabatan guru besar dalam ilmu bahasa di Universitas Leiden di tahun yang sama (1877) menggunakan sebutan “Kepulauan Hindia” atau menggunakan “Hindia Timur” padahal sebenarnya ada penalaran yang kuat bagi mereka untuk menerima sebutan yang sebelumnya telah diajukan oleh Logan yaitu “Indonesia”.

Namun tokoh-tokoh kesarjanaan yang mengikuti jejak Bastian juga cukup menonjol. Berturut-turut di tahun 1885 Gabelente tanpa ragu-ragu menyebut adanya “keluarga bahasa Indonesia” (Indonesische Taalfamille) Prof. Kern, yang pernah bertindak sebagai promotor promosi doktor dari Brandes, menulis sebuah artikel di tahun 1889 yang membahas hubungan antara Hindia-Belanda dengan Indonesia. Di pihak lain Snouck Hurgronje berkali-kali menggunakan perkataan “orang-orang Indonesia” (Indonesiers) dalam bukunya mengenal “orang-orang Aceh” (Atjehers) di tahun 1894.

Bila pada akhir abad ke-19 sebutan “Indonesia” dapat dikatakan mantap sudah kedudukannya dalam artian ilmiah, di permulaan abad ke-20 sebutan ini masih harus berjuang untuk mendapat pengakuannya dalam artian politik dan ketatanegaraan. Yang memperjuangkan hal ini adalah organisasi dari para pelajar Indonesia yang ketika itu sedang bermukim dan belajar di negeri Belanda. Ia didirikan di situ pada tahun yang sama “Boedi Oetomo” dibentuk di Jakarta dan pada awalnya bernama “Indische Vereniging”.

Perkumpulan ini mula-mula tidak memperhatikan masalah politik, melainkan berusaha untuk mempererat tali persaudaraan diantara sesama pelajar Indonesia di negeri Belanda. Dengan kedatangan dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1913 – yaitu dua tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia yang dibuang oleh penjajah ke negerinya sendiri itu – politik masuk ke dalam tubuh perkumpulan ini, utamanya perjuangan politik untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan Belanda.

Perjuangan untuk memberikan artian politik dan ketatanegaraan pada sebutan “Indonesia” dilakukan secara konsekuen oleh organisasi pelajar kita tersebut antara lain dengan, merubah namanya dari “Indische Vereeniging” menjadi “Indonesische Vereeniging” ditahun 1925. Dalam artian politik karena sebutan “Indonesia” mengandung tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam artian ketatanegaraan, karena sebutan ini menyatakan tekad mengorganisasikan Bangsa yang merdeka ini dalam satu Negara yang berdaulat penuh, bernama “Negara Indonesia”, sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie” yang dipakai oleh penjajah selama ini.

Perjuangan ini ternyata tidak kalah beratnya dengan perjuangan yang dialami oleh sebutan “Indonesia” ketika ia di abad 19 berusaha mendapatkan pengakuan ilmiahnya. Bedanya adalah kalau di abad 19 itu pertarungan terjadi antara sesama sarjana Barat, di abad 20 ini bentrokan intelektual berlangsung antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan cendikiawan, termasuk akademisi Belanda. Di pihak Belanda para penentang tidak hanya berasal dari cerdik cendikiawan yang a priori memang keberatan terhadap kemerdekaan Indonesia, jadi menolak sebutan “Indonesia” dalam artian apapun, tetapi juga datang dari kalangan universiter yang telah menerima dan memakai sebutan “Indonesia” dalam artian ilmiah.

Dalam pertarungan intelektual ini pejuang kita yang paling tegar di garis depan adalah Mohammad Hatta, yang ketika itu sedang belajar di Handelshogeschool Rotterdam, menjadi bendahara (1922-1925) dan kemudian ketua (1925-1930) “Perhimpunan Indonesia”. Dengan bahasa setempat yang teratur dan penalaran akademik yang baik (correct) dia melayani secara tertulis semua dan penolakan dan sanggahan yang dilontarkan terhadap sebutan “Indonesia”. Apa yang dilakukannya ini dapat dikatakan merupakan suatu kemampuan intelektual yang praktis jarang sekali dimiliki oleh mahasiswa Indonesia seusia dia dewasa ini.

Sungguh menarik penolakan Prof. Van Vollenhoven terhadap sebutan “Indonesia” dalam artian politik dan ketatanegaraan. Menarik karena “Bapak dari Hukum Adat” ini secara konsekuen telah menggunakan perkataan “Orang Indonesia” (Indonesier) dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.

Dengan gamblang diapun mengakui bahwa kata “Indonesia” sudah tidak dapat lagi dihilangkan. Namun mengingat apa yang dinamakan “Indonesia” itu dalam kenyataannya mencakup wilayah yang lebih luas dari “Hindia Belanda”, maka ia tidak dapat dipakai sebagai sinonim dari sebutan “Hindia Belanda” ini. Pendapat ini didasarkan pada fakta statistikal bahwa di samping sebagian terbesar orang-orang Indonesia (49 juta) yang mendiami “Hindia Belanda” (ketika itu) masih terdapat sejumlah kira-kira 15 juta orang yang tinggal di luar wilayah itu.

Disanggah

Penolakan pengertian politikal dan ketatanegaraan berdasarkan alasan-alasan geografikal dan ethnologikal ini disanggah dengan tegas oleh Hatta. Menurut dia dapat-tidaknya dipakai suatu sebutan geografikal untuk menamakan suatu negara tidak tergantung pengertian-pengertian geografikal dan ethnologikal ditentukan semata-mata oleh “kemauan” dari penduduknya sendiri dan oleh sistem serta kondisi yang dihadapi oleh negara yang bersangkutan. Sebagai contoh yang dia kemukakan untuk memperkuat argumentasinya adalah negara-negara Amerika Serikat dan Jerman.

Secara geografikal yang dimaksudkan “Amerika” adalah “Benua Baru” yang membentang dari kutub Utara ke Kutub Selatan. Walaupun wilayah yang seluas itu meliputi banyak negara dan bangsa, jelas hanya satu negara – yang luasnya hanya sebesar seperempat bagian dari keseluruhan wilayah ini – yang namanya diambil secara harfiah dari sebutan benua itu. Bahkan namanya tidak hanya “Amerika” tetapi “Amerika Serikat”. Penamaan “Amerika Serikat” ini sudah lazim, bukan hanya karena orang-orang Amerika menamakan negaranya demikian, tetapi juga karena negara-negara lain yang ada di benua itu masing-masing mempunyai namanya sendiri yang khas. Maka kalau kita berbicara tentang “orang-orang Amerika”, yang dimaksudkan dengan itu lazimnya adalah penduduk “Amerika Serikat” dan bukan orang Kanada, Meksiko, Brazilia, Bolivia dll.

Sejauh yang mengenai Jerman sama saja. Menurut Hatta, di luar wilayah Kerajaan Jerman dan langsung diperbatasannya tinggal lebih dari 10 juta orang Jerman, diantaranya sebanyak 8 juta bersatu dalam satu negara terpisah, yaitu “Austria”. Apakah karena itu orang-orang Jerman dari “Kerajaan” itu tidak berhak menamakan tanahairnya dengan sebutan “Jerman”? Ternyata bila kita berbicara tentang “Jerman” dan “orang-orang Jerman” maka kita tidak akan ragu-ragu mengenai apa yang dimaksud dengan itu. Sebabnya ialah karena orang-orang Jerman di luar “kerajaan” itu menamakan dirinya lain, dan karena negara Jerman lainnya di tepi sungai Donau disebut “Austria”.

Setelah mengajukan contoh mengenai Amerika Serikat dan Jerman, Hatta mengajak Van Vollenhoven melihat kedudukan Indonesia. Orang-orang Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda telah menandaskan kehendaknya untuk menamakan tanahairnya “Indonesia” berdasarkan keturunan (ras) mereka. Kalau kita berbicara di dalam maupun di luar negeri tentang “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia”, maka yang selalu dimaksudkan dengan itu ialah negeri Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda dan penduduknya.

Mengingat di luar wilayah “Hindia Belanda” masih terdapat tidak kurang dari 15 juta orang Indonesia, apakah lalu orang-orang Indonesia berhak menamakan negerinya “Indonesia” kalau yang dimaksudkan dengan sebutan “Indonesia” itu adalah sinonim dari sebutan “Hindia Belanda”? Menurut Hatta, berdasarkan contoh tentang Amerika Serikat dan Jerman. Jawaban terhadap itu jelas, yaitu “tentu berhak!” sebab orang-orang Indonesia yang berada di luar wilayah “Hindia Belanda” itu tersebar dalam empat masyarakat negara atau jajahan yang masing-masing mempunyai nama yang berbeda-beda, yaitu “Filipina”, “Straits Settlements” (Malaka, Singapura, dll). “Borneo Inggeris” dan “Madagaskar”.

Bila demikian, demikian Hatta akhirnya, sebutan “Indonesia” betul-betul dapat dipakai sebagai nama ketatanegaraan dari “Hindia Belanda”. Orang-orang Indonesia sendiri – dan pada t ingkat terakhir inilah yang pokok – tidak mau menamakan tanahairnya yang kemerdekaannya mereka perjuangkan, lain dari “Indonesia” . Bilamana tanah tumpah darah sudah bebas dari kekuasaan Belanda, maka akan dinamakan juga “Indonesia”.

Memantapkan

Usaha memantapkan penerimaan sebutan “Indonesia” – baik secara ilmiah maupun secara politikal – sebagai pengganti sebutan “Hindia – Belanda” di Eropah ini bergema sampai ke pusat-pusat pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan di tanahair. Begitu rupa sehingga dalam konggresnya yang kedua di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda mengadakan sumpah bersama dan dalam kesempatan itu menggunakan kata “Indonesia” untuk menamakan sekaligus tanah air, bangsa dan bahasa persatuan. Pada penutupan, konggres yang bersejarah ini pemuda Wage Rudolf Supratman, melalui biola yang digeseknya sendiri, memperdengarkan lagu perjuangan yang digubahnya dengan nama “Indonesia Raya”. Sebagai tindak lanjut dari sumpah pemuda tahun 1928 ini, sepuluh tahun kemudian di Solo diadakan Konggres Bahasa Indonesia yang pertama. Setelah dicapai kemerdekaan, Negara-Bangsa, sebutan “Indonesia” dipakai untuk menyatakan “bahasa negara” (UUD 45, Pasal 36).

Akhirnya di tahun 1948, yaitu setahun sebelum Belanda terpaksa yang menyerahkan kedaulatan Kepulauan Nusantara kepada Negara-Bangsa Indonesia, ungkapan “Hindia Belanda” yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda diganti dengan sebutan “Indonesia”. Dengan begini pengakuan arti politik dan ketatanegaraan dari sebutan “Indonesia” di kalangan rakyat Belanda yang dengan gigih diperjuangkan oleh Hatta sejak tahun 1922 terwujud menjadi satu kenyataan 26 tahun kemudian.

Alangkah panjang dan sulitnya lika-liku jalan yang harus ditempuh oleh sebutan “Indonesia” untuk mendapatkan pengakuan dalam berbagai arti yang diperlukannya. Para pewaris Negara-Bangsa Indonesia dan generasi penerus seharusnya bangga bahwa nama negeri mereka tidak diberikan oleh seorang raja-penjajah menurut namanya sendiri – sebagaimana telah terjadi dengan sementara negeri jajahan yang kinii telah merdeka – tetapi lahir dalam otak ilmuwan-ilmuwan internasional untuk dikumandangkan di dunia ilmiah dan kemudian diperjuangkan oleh pemuda-pemuda nasional yang sekaligus terpelajar, cerdas, idealistik dan patriotik dalam politik ketatanegaraan guna mendapat tempat yang terhormat di barisan nama-nama Negara-Bangsa yang merdeka dan berdaulat di abad 20 ini.

INDONESIA

Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku,

INDONESIA

Kebanggaanku, Bangsa dan Tanah Airku

INDONESIA

Tanah Pusaka, Pusaka kita semuanya.

Marilah Kita Berseru

INDONESIA BERSATU

INDONESIA RAYA MERDEKA




(Dr. Daoed Joesoef, 1985)


Tidak ada komentar: