Rabu, 18 Maret 2009

Konsep dan Strategi Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Semakin maju suatu negara semakin banyak orang yang terdidik, dan banyak pula orang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha. Pembangunan akan lebih berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka lapangan kerja karena kemampuan pemerintah sangat terbatas. Pemerintah tidak akan mampu menggarap semua aspek pembangunan karena sangat banyak membutuhkan anggaran belanja, personalia, dan pengawasan.

Wirausaha (entrepreneur) memegang peranan yang sangat penting dalam memajukan ekonomi suatu negara. Kemajuan ekonomi mestinya sejalan dengan kemampuan dan peningkatan daya beli, peningkatan taraf kesejahteraan hidup dan kemakmuran bangsa yang merata dan dirasakan secara nyata, bukan hanya ditunjukkan oleh angka-angka statistik saja.

Banyaknya jumlah entrepreneur (wirausaha) yang dimiliki oleh suatu negara, maka dua indikator penting dalam suatu negara maju dan makmur secara ekonomi akan terpenuhi, yaitu rendahnya angka pengangguran dan tingginya devisa terutama dari hasil barang-barang ekspor yang dihasilkan.

Wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha itu sendiri. Sekarang ini kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat, sehingga persoalan pembangunan wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya pembangunan. Kurang berkembangnya wirausaha di Indonesia disebabkan oleh banyak hal baik dari pemerintah, masyarakat maupun individunya. Beberapa penyebab yang dapat disebutkan antara lain sikap pandang, pola pikir, atau penilaian-penilaian tertentu dalam masyarakat. Selain itu juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan perilaku para pejabat di jajaran birokrasi pemerintahan yang terlalu mempersulit ruang lingkup wirausaha sehingga mereka tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian serius dari semua kalangan baik masyarakat, pemerintah maupun aparat birokrasi pemerintahan karena salah satu kemajuan suatu negara adalah karena tumbuh suburnya kalangan wirausaha di negara tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa di negara-negara maju penyumbang devisa terbesar adalah wirausaha sekaligus sebagai pemutar roda perekonomian di suatu negara.

Kewirausahaan bukan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Di negara Indonesia pengetahuan kewirausahaan diajarkan di sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi dan di berbagai kursus bisnis. Strategi pelaksanaan kewirausahaan harus dilaksanakan sejak anak masih balita dengan jalan membiasakan mereka mematuhi peraturan yang baik, benar, jujur dan adil. Menurut Patmonodewo (2003 : 6) anak-anak tidak hanya diajar menulis, berhitung dan membaca melainkan juga diajarkan berbagai keterampilan yang kelak akan menjadi bidang pekerjaannya, misalnya industri rumah tangga, kerajinan tangan dan memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membuat sebuah makalah yang berisi tentang konsep dan strategi pelaksanaan kewirausahaan yang dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah, masyarakat dan wirausahawan agar dapat mengembangkan kewirausahaan di Indonesia yang masih tergolong rendah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah pengertian dan ciri kewirausahaan ?

2. Bagaimana model proses kewirausahaan ?

3. Bagaimana perkembangan kewirausahaan di Indonesia ?

4. Bagaimana strategi pelaksanaan pendidikan kewirausahaan ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dan ciri kewirausahaan!

2. Untuk mengetahui model proses kewirausahaan !

3. Untuk mengetahui perkembangan kewirausahaan di Indonesia !

4. Untuk strategi pelaksanaan pendidikan kewirausahaan !


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ciri-ciri Kewirausahaan

Kata kewirausahaan merupakan terjemahan dari kata entrepreneur. Kata tersebut berasal dari bahasa Perancis entreprendre yang berarti ”bertanggung jawab”. Wirausahawan adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyusun, mengelola dan mengukur resiko suatu usaha bisnis (Mas’ud, M dan Mahmud, M. 2004 : ). Selanjutnya Mas’ud, M. & Mahmud, M menjelaskan wirausahawan adalah inovator yang mampu memanfaatkan dan mengubah kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, memberikan nilai tambah dengan memanfaatkan upaya, waktu, biaya atau kecakapan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Seorang wirausahawan adalah pribadi yang mandiri dalam mengejar prestasi, ia berani mengambil resiko untuk mulai mengelola bisnis demi mendapatkan laba.

Kata ”kewirausahaan” sebagai terjemahan dari entrepreneurship dilontarkan pada tahun 1975 dan mulai digunakan diantara anggota kelompok Entrepreneur Development Program – Development technology Centre (EDP-DTC), Institut Teknologi Bandung. Pada waktu itu dipakai kata ”kewiraswastaan” sebagai terjemahan entrepreneurship”. Kelompok EDP-DTC ITB berpendapat bahwa entrepreneurship spirit, yang intinya menciptakan nilai atau manfaat melalui inovasi, tidak hanya terdapat atau diperlukan di kalangan pengusaha swasta, namun juga di kalangan organisasi yang memberikan pelayanan publik. Atas dasar pertimbangan tersebut, dimunculkanlah sebuah kata baru, ”kewirausahaan”. Akar katanya adalah sebuah kata dalam bahasa Prancis ”entreprendre” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah ”berusaha” atau ”mengusahakan” (Moko, P.A. 2005 :50).

Kata ”wirausaha” lalu muncul secara meluas setelah menjadi istilah pada waktu keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Istilah tersebut merupakan padanan istilah entrepreneur yang lebih pas karena semua pihak, baik swasta, pegawai negeri, pejabat, maupun pegawai swasta harus memiliki semangat usaha. Jadi, istilah wirausaha bisa dipakai di mana-mana (Moko, P.A. 2005 :50).

Menurut Encyclopedia of America (1984) seperti yang dikutip dari Moko, P.A. (2005 :51) entrepreneur adalah ”pengusaha yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dengan menciptakan produksi, termasuk modal, tenaga kerja dan bahan, dan dari usaha bisnis mendapat profit/laba”.

Istilah entrepreneur dilansir pertamakali pada tahun 1755 oleh Richard Cantillon yang waktu itu sedang melakukan penelitian tentang IQ wirausahawan seperti yang dikutip dari Moko, P.A. (2005 :51). Menurut Cantillon, entrepreneur memiliki fungsi unik sebagai penanggung resiko. Jadi cakupan dalam diri seorang entrepreneur adalah :

1. Sebagai manusia yang mempunyai sikap mental, wawasan, kreativitas, inovasi, ide, motivasi, cita-cita, dan lain-lain.

2. Berusaha atau berproses untuk mengisi peluang dalam usaha jasa atau barang (goods) untuk tujuan ekonomi.

3. Untuk mendapatkan laba dan pertumbuhan usaha

4. Berhubungan dengan pembeli atau pelanggan yang membutuhkan jasa atau barang yang dijualnya dengan selalu memberikan kepuasan

5. Berani menghadapi segala resiko (sebagai risk taker), tetapi risiko tersebut sudah diperhitungkan.

Definisi lain wiraswasta (wirausaha, entrepreneur) sesuai dengan hasil lokakarya sistem Pendidikan dan Pengembangan Kewirausahaan di Indonesia tahun 1978, dikutip dari Moko, P.A. (2005 :52) adalah sebagai berikut :

”Pejuang kemajuan yang mengabdikan diri kepada masyarakat dengan wujud pendidikan (edukasi) dan bertekad dengan kemampuan sendiri, sebagai rangkaian kiat (art) kewirausahaan untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, memperluas lapangan kerja, turut berdaya upaya mengakhiri ketergantungan pada luar negeri, dan di dalam fungsi-fungsi tersebut selalu tunduk terhadap hukum lingkungannya.

Wirausaha memiliki ciri khas yang demikian banyak dan perlu dimiliki oleh setiap orang, akan tetapi jika tidak semua bisa dimiliki, tak jadi masalah, dengan memiliki sebagian pun cukup.

Menurut Buchari, A. (2007 : 53 – 62) ciri seorang wirausaha dapat diringkas sebagai berikut :

1. Percaya diri

2. Berorientasi pada tugas dan hasil

3. Pengambilan resiko

4. Kepemimpinan

5. Keorisinilan

6. Berorientasi ke masa depan

7. Kreativitas

8. Konsep 10 D dari Bygrave

9. Pemanfaatan waktu

Moko, P.A (2005 : 53 – 55) ciri orang yang berjiwa entrepreneur, antara lain :

v Mempunyai visi

v Kreatif dan inovastif

v Mampu melihat peluang

v Orientasi pada kepuasan konsumen dan pelanggan

v Orientasi pada laba dan pertumbuhan

v Berani menanggung resiko

v Berjiwa kompetisi

v Cepat tanggap dan gerak cepat

v Berjiwa sosial dengan menjadi dermawan (phylantrophis) dan berjiwa altruis

Menurut Masud, M & Mahmud, M (2004 : 2) seorang wirausahawan memiliki beberapa ciri kepribadian sebagai berikut :

o Mengetahui target sasaran yang diinginkan

o Mempunyai daya ingat yang baik

o Tenang dalam reaksi

o Optimistis dalam berusaha

o Diplomatis dalam berbicara

o Tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan

o Bersikap ramah dan sopan

o Bersikap tegas

o Berpengetahuan luas

B. Model Proses Kewirausahaan

Model proses perintisan dan pengembangan kewirausahaan ini digambarkan oleh Bygrave seperti dikutip dari Buchari, A (2007 : 10 - 12 ) menjadi urutan langkah-langkah berikut ini :



Down Arrow Callout: Innovation (Inovasi)






Down Arrow Callout: Triggering Event (Pemicu)



Down Arrow Callout: Implementation (Pelaksanaan)



Down Arrow Callout: Growth (Pertumbuhan)


(dikutip dari Buchari, A. 2007 : 10)

1. Proses Inovasi

Beberapa faktor personal yang mendorong inovasi adalah keinginan berprestasi, adanya sifat penasaran, keinginan menanggung resiko, faktor pendidikan dan faktor pengalaman. Adanya inovasi yang berasal dari diri seseorang akan mendorong dia mencari pemicu ke arah memulai usaha. Sedangkan faktor-faktor environment mendorong inovasi adalah adanya peluang, pengalaman dan kreativitas

2. Proses Pemicu

Beberapa faktor personal yang mendorong Triggering Event artinya yang memicu atau memaksa seseorang untuk terjun ke dunia bisnis adalah :

Ø Adanya ketidak puasan terhadap pekerjaan yang sekarang

Ø Adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak ada pekerjaan lain

Ø Dorongan karena faktor usia

Ø Keberanian menanggung resiko

Ø Komitmen atau minat yang tinggi terhadap bisnis

Faktor-faktor Environment yang mendorong menjadi pemicu bisnis adalah :

· Adanya persaingan dalam dunia kehidupan

· Adanya sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan, misalnya memiliki tabungan, modal, warisan, memiliki bangunan yang lokasi strategis dan sebagainya

· Mengikuti latihan-latihan atau Incubator bisnis

· Kebijaksanaan pemerintah misalnya adanya kemudahan-kemudahan dalam lokasi berusaha ataupun fasilitas kredit, dan bimbingan usaha yang dilakukan oleh Depnaker

Sedangkan faktor Sociological yang menjadi pemicu serta pelaksanaan bisnis adalah :

ü Adanya hubungan-hubungan atau relasi-relasi dengan orang lain

ü Adanya tim yang dapat diajak kerjasama dalam berusaha

ü Adanya dorongan dari orang tua untuk membuka usaha

ü Adanya bantuan famili dalam berbagai kemudahan

ü Adanya pengalaman-pengalaman dalam dunia bisnis sebelumnya

3. Proses Pelaksanaan

Beberapa faktor personal yang mendorong pelaksanaan dari sebuah bisnis adalah sebagai berikut :

* Adanya seorang wirausaha yang sudah siap mental secara total

* Adanya manajer pelaksana sebagai tangan kanan, pembantu utama

* Adanya komitmen yang tinggi terhadap bisnis

* Adanya visi, pandangan yang jauh ke depan guna mencapai keberhasilan

4. Proses pertumbuhan

Proses pertumbuhan ini didorong oleh faktor organisasi antara lain :

· Adanya tim yang kompak dalam menjalankan usaha sehingga semua rencana dan pelaksanaan operasional berjalan produktif

· Adanya strategi yang mantap sebagai produk dari tim yang kompak

· Adanya struktur dan budaya organisasi yang sudah membudaya

· Adanya produk yang dibanggakan, atau keistimewaan yang dimiliki misalnya kualitas makanan, lokasi usaha, manajemen, personalia dan sebagainya

Sedangkan faktor environment yang mendorong implementasi dan pertumbuhan bisnis adalah sebagai berikut :

§ Adanya unsur persaingan yang cukup menguntungkan

§ Adanya konsumen dan pemasok barang yang kontinu

§ Adanya bantuan dari pihak investor bank yang memberikan fasilitas keuangan

§ Adanya sumber-sumber yang tersedia, yang masih bisa dimanfaatkan

§ Adanya kebijaksanaan pemerintah yang menunjang berupa peraturan bidang ekonomi yang menguntungkan

C. Perkembangan Kewirausahaan di Indonesia

Pertumbuhan dan perkembangan entrepreneur di Indonesia masih sangat rendah, padahal fakta menunjukkan idealnya Indonesia membutuhkan 4 juta entrepreneur dari total jumlah penduduk agar kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini dapat tercapai. Banyak hal yang menyebabkan pertumbuhan entrepreneur di Indonesia masih kecil, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun individunya.

Belum berkembangnya entrepreneur di Indonesia mungkin dikarenakan sikap pandang, pola pikir, atau penilaian-penilaian tertentu dalam masyarakat. Pada umumnya, menjadi pengusaha itu masih sesuatu yang asing, terutama bila dilihat dari aspek prosesnya. Masyarakat kebanyakan hanya tahu bahwa pengusaha itu orang kaya dan terkenal, tetapi sedikit yang memahami atau mungkin yang mau memahami secara mendalam tentang keberadaannya (Astamoen, P.A. 2005 : 151).

Heidjrachman Ranu Pandojo (1985 : 16 dalam Buchari Alma, 2007 : 59) menulis bahwa sifat-sifat kelemahan orang Indonesia bersumber pada kehidupan penuh raga, kehidupan tanpa pedoman, dan tanpa orientasi yang tegas.

Lebih rinci kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sifat mentalitet yang meremehkan mutu

2. Sifat mentalitet yang suka menerabas

3. Sifat tak percaya kepada diri sendiri

4. Sifat tak berdisiplin murni

5. Sufat mentalitet yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh

Kelemahan bangsa kita banyak dibicarakan oleh para pakar, yaitu terletak pada superstrukturnya. Di dalam ekonomi pembangunan, ada 3 elemen penting yang menunjang pembangunan yaitu Infrastruktur, Struktur ekonomi, Superstruktur (Buchari Alma. 2007 : 60). Selanjutnya Buchari Alma menjelaskan (2007 : 61) superstruktur atau struktur atas adalah faktor mental masyarakat, semangat kerja ulet, tak kenal putus asa, tekun, jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya. Bangsa Jepang dan Jerman berhasil dalam membangun negaranya setelah Perang Dunia II, adalah karena mereka unggul dalam superstruktur ini. Bandingkan dengan negara kita dengan segala kelemahannya, kurang bertanggung jawab, ingin cepat kaya, mencuri, memalsukan dokumen-dokumen, cuci tangan, cepat puas, ingin santai. Demikian pula bangsa kita, apabila sudah memperoleh uang atau gaji lumayan, mereka cenderung memperbanyak waktu santai.

Tumbuh suburnya para pengusaha tidak akan terlepas dari kebijakan pemerintah dan perilaku para pejabat di jajaran birokrasi pemerintahan. Kalau sudah punya kesan bahwa bisnis itu tidak akan lepas dari rongrongan para oknum pejabat, tentunya sebagian orang akan berpikir dua kali untuk mau menjadi pengusaha. Tetapi kalau pemerintah dan para pejabatnya bisa memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya para pengusaha, tidak mustahil banyak orang yang mau berkiprah sebagai pengusaha-pengusaha baru. Apalagi ditambah dengan adanya pelajaran atau pelatihan-pelatihan tentang entrepreneur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dan tidak kalah pentingnya juga ada dorongan dari orang tua pada anaknya (Moko, P.A. 2005 :150 – 151).

Moko P. Astamoen (2005 : 152 - 166 ) menulis beberapa hal berikut ini diduga kuat menjadi penyebab mengapa entrepreneur kurang berkembang di Indonesia, dirangkum sebagai berikut :

1. Pengaruh pola pikir tradisional

2. Kurang motivasi dan antusias

3. Sifat insinyur yang introvert

4. Pengaruh etos keberhasilan yang kurang menghargai proses

5. Berjiwa ”safety player” (cari aman atau main aman)

6. Kelemahan dalam leadership

7. Pengaruh feodalisme gaya baru

8. Takut tidak mempunyai status sosial

9. Kerja ingin enteng, hasilnya ingin besar, dan tidak mau menanggung resiko

10. Kurangnya pendidikan entrepreneurship

11. Kurangnya dukungan pemerintah pusat dan daerah

D. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan diajarkan dan bukan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir. Strategi pelaksanaan pendidikan kewirausahaan sebaiknya ditanamkan kepada anak sejak masih usia dini, hal ini bertujuan agar nilai-nilai kewirausahaan itu sudah dikenal sejak anak usia dini sehingga menjadi bekal kelak jika dia tumbuh besar. Menurut Patmonodewo (2003 : 6) anak-anak tidak hanya diajar menulis, berhitung dan membaca melainkan juga diajarkan berbagai keterampilan yang kelak akan menjadi bidang pekerjaannya, misalnya industri rumah tangga, kerajinan tangan dan memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya.

Pertumbuhan dan perkembangan minat wirausaha banyak dipengaruhi, lingkungan keluarga semasa kecil, dalam hal ini Buchari Alma (2007 : 7-8) menyebutnya sebagai lingkungan dalam bentuk ”role models”. Role model ini biasanya melihat kepada orang tua, saudara, keluarga yang lain (kakek, paman, bibi, anak), teman-teman, pasangan atau pengusaha sukses yang diidolakannya. Dorongan teman cukup berpengaruh terhadap semangat membuka suatu usaha, karena kita dapat berdiskusi lebih bebas, dibandingkan dengan orang lain, teman bisa memberi dorongan, pengertian, bahkan bantuan, tidak perlu takut terhadap kritikan.

Terhadap pekerjaan orang tua, seringkali terlihat bahwa ada pengaruh dari orang tua yang bekerja sendiri, dan memiliki usaha sendiri cenderung anaknya jadi pengusaha pula. Keadaan ini seringkali memberi inspirasi pada anak sejak kecil. Situasi seperti ini akan lebih diperkuat lagi oleh ibu yang juga ikut berusaha. Orang tua ini cenderung mensupport serta mendorong keberanian anaknya untuk berdiri sendiri. Suasana dorongan ini sangat penting artinya bagi calon wanita pengusaha (Buchari Alma. 2007 : 8).

Pendidikan moral termasuk jiwa kewiraswastaan harus dilaksanakan sejak anak masih balita dengan jalan membiasakan mereka mematuhi peraturan yang baik, benar, jujur, dan adil. Menurut Kurtopo, seperti yang dikutip dari Anwar dan Arsyad, A (2004 : 53 – 54) bahwa kewiraswastaan dapat dipelajari, setiap individu dibekali benih-benih wiraswasta. Pendidikan kewiraswastaan merupakan pendidikan nilai yang mengarahkan berkembangnya kepribadian wiraswasta. Nilai-nilai kewiraswastaan: kreativitas, keberanian, keuletan, kejujuran, kerja keras, orientasi masa depan, dorongan berprestasi tinggi, disiplin, kemandirian, iman dan taqwa.

Pembentukan watak dan sikap yang harus menghasilkan sikap hidup yang diinginkan paling tepat dilakukan dimulai dalam keluarga, sejak dalam kandungan, dapat mulai ditransfer nilai-nilai yang diperlukan untuk menentukan watak dan sikap mental, serta terwujudnya fondasi manusia dan masyarakat tangguh. Pendidikan nilai kewiraswastaan berarti upaya membina (mengenalkan, menumbuhkan, memupuk, mengembangkan) nilai-nilai kewiraswastaan sehingga melekat pada pribadinya (Anwar dan Arsyad, A. (2004 : 54 – 55).

Pendidikan kewiraswastaan dan kecakapan hidup harus diperkenalkan dasar-dasarnya kepada anak sejak usia dini agar kelak dapat terpenuhi kecakapan hidunya. Dalam hal ini Anwar dan Arsyad, A. (2004 : 56) menulis keterampilan kecakapan hidup meliputi minimal lima bagian :

· Keterampilan mengenal diri (self awareness), yang juga sering disebut kemampuan personal (personal skill).

· Kecakapan berpikir rasional (thinking skill)

· Kecakapan sosial (social skill)

· Kecakapan akademik (academic skill)

· Kecakapan vocasional (vocasional skill)

Kelima bidang tersebut, hendaknya diberikan secara simultan kepada anak didik, bahkan selama mereka masih berada pada pendidikan prasekolah di mana pada kondisi mereka masih merupakan masa pembentukan karakter yang akan mewarni masa-masa selanjutnya.

Ketimpangan pendidikan yang hanya membekali peserta didik dengan kecakapan akademis, telah melahirkan pengangguran terdidik yang cukup besar, penandanya banyak lulusan pendidikan tinggi kita dengan embel-embel gelar kesarjanaan dalam berbagai disiplin ilmu bahkan dengan nilai tinggi, tetapi kenyataannya masih juga belum tahu harus berbuat apa ketika terjun di masyarakat. Kenyataan ini tidak terlepas dari minimnya bekal dasar-dasar kecakapan hidup yang dimilikinya, salah satu penyebabnya tidak diperkenalkan sejak usia dini, sehingga mereka menjalani hidupnya terlena tanpa pernah memikirkan akhir dari pendidikan yaitu berkarir atau bekerja dengan bekal keterampilan hidup.

Perlu kembali direnungkan bahwa masa prasekolah adalah paling penting dari seluruh tahapan perkembangan anak, dan pada periode ini perlu diletakkan dasar-dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan anak. Masa prasekolah khususnya usia 2-5 tahun merupakan masa perkembangan yang sangat pesat, baik fisik maupun mental. Apa yang mereka lihat, alami dan rasakan akan terekam sangat kuat ”sekali dia belajar, sikap demikian akan mewarnai persepsi individu akan masyarakat dan suasana sepanjang hayat”. Nilai-nilai yang mereka dapatkan pada usia ini akan mendasari pola perkembangan selanjutnya, sehingga tidak berlebihan jika penanaman konsep pendidikan kecakapan hidup dapat diberikan sejak dini usia (Anwar dan Arsyad, A. 2004 : 58).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata kewirausahaan merupakan terjemahan dari kata entrepreneur. Kata tersebut berasal dari bahasa Perancis entreprendre yang berarti ”bertanggung jawab”. Wirausahawan adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyusun, mengelola dan mengukur resiko suatu usaha bisnis.

Ciri orang yang berjiwa entrepreneur, antara lain :

v Mempunyai visi

v Kreatif dan inovastif

v Mampu melihat peluang

v Orientasi pada kepuasan konsumen dan pelanggan

v Orientasi pada laba dan pertumbuhan

v Berani menanggung resiko

v Berjiwa kompetisi

v Cepat tanggap dan gerak cepat

v Berjiwa sosial dengan menjadi dermawan (phylantrophis) dan berjiwa altruis

Terdapat empat model proses kewirausahaan, antara lain : (1) Proses inovasi, (2) Proses pemicu, (3) Proses pelaksanaan, dan (4) Proses pertumbuhan.

Pertumbuhan dan perkembangan entrepreneur di Indonesia masih sangat rendah, padahal fakta menunjukkan idealnya Indonesia membutuhkan 4 juta entrepreneur dari total jumlah penduduk agar kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini dapat tercapai. Banyak hal yang menyebabkan pertumbuhan entrepreneur di Indonesia masih kecil, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun individunya.

Beberapa hal berikut ini diduga kuat menjadi penyebab mengapa entrepreneur kurang berkembang di Indonesia, sebagai berikut :

1. Pengaruh pola pikir tradisional

2. Kurang motivasi dan antusias

3. Sifat insinyur yang introvert

4. Pengaruh etos keberhasilan yang kurang menghargai proses

5. Berjiwa ”safety player” (cari aman atau main aman)

6. Kelemahan dalam leadership

7. Pengaruh feodalisme gaya baru

8. Takut tidak mempunyai status sosial

9. Kerja ingin enteng, hasilnya ingin besar, dan tidak mau menanggung resiko

10. Kurangnya pendidikan entrepreneurship

11. Kurangnya dukungan pemerintah pusat dan daerah

Pendidikan moral termasuk jiwa kewiraswastaan harus dilaksanakan sejak anak masih balita dengan jalan membiasakan mereka mematuhi peraturan yang baik, benar, jujur, dan adil. Kewiraswastaan dapat dipelajari, setiap individu dibekali benih-benih wiraswasta. Pendidikan kewiraswastaan merupakan pendidikan nilai yang mengarahkan berkembangnya kepribadian wiraswasta. Nilai-nilai kewiraswastaan: kreativitas, keberanian, keuletan, kejujuran, kerja keras, orientasi masa depan, dorongan berprestasi tinggi, disiplin, kemandirian, iman dan taqwa harus ditanamkan sejak usia dini agar menghasilkan masyarakat yang berkualitas dan berpotensi di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Alma, Buchari. 2007. Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum (Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Bagi Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia. Bandung : Alfabeta

Anwar & Ahmad, A. 2004. Pendidikan Anak Dini Usia (Panduan Praktis Bagi Ibu dan Calon Ibu). Bandung : Alfabeta

Astamoen, M.P. 2005. Entrepreneurship (Dalam Perspektif Kondisi Bangsa Indonesia. Bandung : Alfabeta

Machfoedz, Mas’ud & Machfoedz, Mahmud. 2004. Kewirausahaan Suatu Pendekatan Kontemporer. Yogyakarta : Akademi Manajemen Perusahaan YKPN

Patmonodewo, S. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Indonesia Tanah Airku

INDONESIA TANAH AIRKU

(Disadur dari Artikel Karya Dr. Daoed Joesoef, 1985, tanpa merubah isinya)


Dasar dari kata “Indonesia” untuk pertamakalinya diketengahkan oleh G.W. Earl di tahun 1850. Adalah 130 tahun yang lalu dalam suatu tulisan dalam majalah “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia”. Dia adalah seorang ahli ilmu bangsa-bangsa (etnhologist) berkebangsaan Inggris. Adapun kata yang persis digunakannya belum berbunyi “Indonesia” tetapi “Indonesian”, dibentuk dua perkataan Yunani; “Indos” dan “nesos”. Dengan mengambil contoh sebutan “Polynesia”, dia mengambil sebutan “Indonesian” atau “Melayunesian” untuk menamakan unsur-unsur berkulit coklat dari penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara yang ketika itu lazim disebut sebagai “Indian Archipelago” atau “Malayan Archipelago” . Namun setelah menguraikan rasionale dari sebutan ini dia jelas mengatakan lebih menyukai kata “Malayunesia” ketimbang “Indonesian”.

Kata yang disisihkan oleh penciptanyan sendiri itu diambil alih oleh seorang ilmu bangsa-bangsa lainnya yang juga berkebangsaan Inggris, bernama J.R. Logan. Melalui tulisan berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago” yang diterbitkannya dalam majalah yang sama dan masih dalam tahun penerbitan yang sama pula, dia memakai sebutan “Indonesia” sebagai sinonim dengan sebutan “Indian Archipelago” (Kepulauan Nusantara). Kelompok penduduk yang dicakup oleh sebutan “Indonesia” ini menurut Logan tidak hanya ditandai oleh persamaan dalam bahasa-bahasa yang dipakainya, yang berarti pula adanya persamaan dalam unsur-unsur tertentu dari kebudayaannya, tetapi juga oleh persamaan dalam ras.

Untuk bidang penelitian yang baru ini kiranya dipikir perlu adanya kata-kata sebutan baru. Berhubung dengan itu dalam tulisannya itu Logan menganggap perlu mengetengahkan sebutan. Sebutan lainnya lagi, seperti “Asia-nesia”, sebagai sebutan yang mencakup Indonesia, Melanesia, Mikronesia dan Polynesia. Jadi bila Earl menempa kata “Indonesian” dalam artian etnologikal, Logan menggunakan sebutan “Indonesia” dalam artian geografikal murni yaitu mengenai gugusan kepulauan yang khatulistiwa itu sendiri. Menurut pendapatnya perkataan Melayu “nusa” yang berarti pulau, mungkin sama tuanya dengan perkataan Yunani “nesos”.

Di tahun 1877 seorang sarjana berbahasa Perancis, E.T. Hamy memakai sebutan “Indonesia” dalam artian ethnologikal yang lebih spesifik lagi. Dalam karyanya berjudul “Les Alfourous de Gilolo”, sebutan ini dimaksudkan untuk meliputi kelompok-kelompok alamiah tertentu dalam penduduk Melayu yang mendiami gugusan kepulauan ini mengingat “Melayu” sebagai satu kategori ras juga jelas menunjukkan adanya pengaruh-pengaruh Mongool. Kelompok-kelompok penduduk alamiah tersebut menurut Hamy dapat dikatakan pula sebagai “Pra-Melayu” yang meliputi orang-orang Batta (Batak), Dayak, dll. Jadi sebutan “Indonesia” dipakai untuk menunjukkan bagian-bagian tertentu dari penduduk Melayu yang dianggap memang berasal dari kepulauan itu sendiri.

Tigapuluh empat tahun sejak munculnya kata “Indo-nesian”,kata “Indonesia” dimantapkan oleh seorang sarjana Jerman Adolf Bastian, yang oleh Prof. Wilren disebut sebagai “raja dari sarjana-sarjana ilmu bangsa-bangsa”. Kata “Indonesia dipakainya sebagai bagian dari judul karyanya yang terbit di tahun 1884, berbunyi: “Indonesian oder die Inseln des Malayschen Archipels”. Dari judul ini saja jelas bahwa yang dimaksudkannya dengan “Indonesien” adalah tidak lain dari “Kepulauan Nusantara” kita ini.

Mengingat otoritas Bastian di lingkungan masyarakat ilmiah ketika itu, sejak tulisannya ini sebutan “Indonesia” menjadi pengertian yang semakin diterima dalam ilmu pengetahun, terutama ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa. Ini pula yang kiranya menjadi sebab mengapa orang kadangkala keliru menganggapnya sebagai “penemu” dari kata dan sebutan “Indonesia”. Kekeliruan tersebut dapat ditemui, misalnya di “Oosthoeks Encyclopacdie” (1935), di ensiklopedi “winkler Prins” (1935), di “Katholleke Encyclopacdie” (1936), dan di “Encyclopacdie van Nederlandsch Indie” bahkan sampai dua kali (II, 1918 dan V, 1927)

Menolak

Sebagaimana lazimnya dalam dunia ilmu pengetahuan yang tetap menolak sebutan “Indonesia” sesudah adanya penegasan dari Bastian tentu saja ada Brandes, misalnya, dalam tesis doktoral yang diajukannya di tahun 1884 mengakui adanya kebutuhan terhadap satu sebutan yang kurang membingungkan dari sebutan “bagian Melayu”dari keluarga bahasa-bahasa Melayu Polynesia. Walaupun begitu dia tidak dapat menemui yang lebih baik dari sebutan “bagian Barat” sebagai pengganti sebutan “bagian Melayu” yang katanya membingungkan itu. Di pihak lain, sarjana-sarjana Veth dan Pijnappel ketika menerima jabatan guru besar dalam ilmu bahasa di Universitas Leiden di tahun yang sama (1877) menggunakan sebutan “Kepulauan Hindia” atau menggunakan “Hindia Timur” padahal sebenarnya ada penalaran yang kuat bagi mereka untuk menerima sebutan yang sebelumnya telah diajukan oleh Logan yaitu “Indonesia”.

Namun tokoh-tokoh kesarjanaan yang mengikuti jejak Bastian juga cukup menonjol. Berturut-turut di tahun 1885 Gabelente tanpa ragu-ragu menyebut adanya “keluarga bahasa Indonesia” (Indonesische Taalfamille) Prof. Kern, yang pernah bertindak sebagai promotor promosi doktor dari Brandes, menulis sebuah artikel di tahun 1889 yang membahas hubungan antara Hindia-Belanda dengan Indonesia. Di pihak lain Snouck Hurgronje berkali-kali menggunakan perkataan “orang-orang Indonesia” (Indonesiers) dalam bukunya mengenal “orang-orang Aceh” (Atjehers) di tahun 1894.

Bila pada akhir abad ke-19 sebutan “Indonesia” dapat dikatakan mantap sudah kedudukannya dalam artian ilmiah, di permulaan abad ke-20 sebutan ini masih harus berjuang untuk mendapat pengakuannya dalam artian politik dan ketatanegaraan. Yang memperjuangkan hal ini adalah organisasi dari para pelajar Indonesia yang ketika itu sedang bermukim dan belajar di negeri Belanda. Ia didirikan di situ pada tahun yang sama “Boedi Oetomo” dibentuk di Jakarta dan pada awalnya bernama “Indische Vereniging”.

Perkumpulan ini mula-mula tidak memperhatikan masalah politik, melainkan berusaha untuk mempererat tali persaudaraan diantara sesama pelajar Indonesia di negeri Belanda. Dengan kedatangan dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1913 – yaitu dua tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia yang dibuang oleh penjajah ke negerinya sendiri itu – politik masuk ke dalam tubuh perkumpulan ini, utamanya perjuangan politik untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan Belanda.

Perjuangan untuk memberikan artian politik dan ketatanegaraan pada sebutan “Indonesia” dilakukan secara konsekuen oleh organisasi pelajar kita tersebut antara lain dengan, merubah namanya dari “Indische Vereeniging” menjadi “Indonesische Vereeniging” ditahun 1925. Dalam artian politik karena sebutan “Indonesia” mengandung tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam artian ketatanegaraan, karena sebutan ini menyatakan tekad mengorganisasikan Bangsa yang merdeka ini dalam satu Negara yang berdaulat penuh, bernama “Negara Indonesia”, sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie” yang dipakai oleh penjajah selama ini.

Perjuangan ini ternyata tidak kalah beratnya dengan perjuangan yang dialami oleh sebutan “Indonesia” ketika ia di abad 19 berusaha mendapatkan pengakuan ilmiahnya. Bedanya adalah kalau di abad 19 itu pertarungan terjadi antara sesama sarjana Barat, di abad 20 ini bentrokan intelektual berlangsung antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan cendikiawan, termasuk akademisi Belanda. Di pihak Belanda para penentang tidak hanya berasal dari cerdik cendikiawan yang a priori memang keberatan terhadap kemerdekaan Indonesia, jadi menolak sebutan “Indonesia” dalam artian apapun, tetapi juga datang dari kalangan universiter yang telah menerima dan memakai sebutan “Indonesia” dalam artian ilmiah.

Dalam pertarungan intelektual ini pejuang kita yang paling tegar di garis depan adalah Mohammad Hatta, yang ketika itu sedang belajar di Handelshogeschool Rotterdam, menjadi bendahara (1922-1925) dan kemudian ketua (1925-1930) “Perhimpunan Indonesia”. Dengan bahasa setempat yang teratur dan penalaran akademik yang baik (correct) dia melayani secara tertulis semua dan penolakan dan sanggahan yang dilontarkan terhadap sebutan “Indonesia”. Apa yang dilakukannya ini dapat dikatakan merupakan suatu kemampuan intelektual yang praktis jarang sekali dimiliki oleh mahasiswa Indonesia seusia dia dewasa ini.

Sungguh menarik penolakan Prof. Van Vollenhoven terhadap sebutan “Indonesia” dalam artian politik dan ketatanegaraan. Menarik karena “Bapak dari Hukum Adat” ini secara konsekuen telah menggunakan perkataan “Orang Indonesia” (Indonesier) dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.

Dengan gamblang diapun mengakui bahwa kata “Indonesia” sudah tidak dapat lagi dihilangkan. Namun mengingat apa yang dinamakan “Indonesia” itu dalam kenyataannya mencakup wilayah yang lebih luas dari “Hindia Belanda”, maka ia tidak dapat dipakai sebagai sinonim dari sebutan “Hindia Belanda” ini. Pendapat ini didasarkan pada fakta statistikal bahwa di samping sebagian terbesar orang-orang Indonesia (49 juta) yang mendiami “Hindia Belanda” (ketika itu) masih terdapat sejumlah kira-kira 15 juta orang yang tinggal di luar wilayah itu.

Disanggah

Penolakan pengertian politikal dan ketatanegaraan berdasarkan alasan-alasan geografikal dan ethnologikal ini disanggah dengan tegas oleh Hatta. Menurut dia dapat-tidaknya dipakai suatu sebutan geografikal untuk menamakan suatu negara tidak tergantung pengertian-pengertian geografikal dan ethnologikal ditentukan semata-mata oleh “kemauan” dari penduduknya sendiri dan oleh sistem serta kondisi yang dihadapi oleh negara yang bersangkutan. Sebagai contoh yang dia kemukakan untuk memperkuat argumentasinya adalah negara-negara Amerika Serikat dan Jerman.

Secara geografikal yang dimaksudkan “Amerika” adalah “Benua Baru” yang membentang dari kutub Utara ke Kutub Selatan. Walaupun wilayah yang seluas itu meliputi banyak negara dan bangsa, jelas hanya satu negara – yang luasnya hanya sebesar seperempat bagian dari keseluruhan wilayah ini – yang namanya diambil secara harfiah dari sebutan benua itu. Bahkan namanya tidak hanya “Amerika” tetapi “Amerika Serikat”. Penamaan “Amerika Serikat” ini sudah lazim, bukan hanya karena orang-orang Amerika menamakan negaranya demikian, tetapi juga karena negara-negara lain yang ada di benua itu masing-masing mempunyai namanya sendiri yang khas. Maka kalau kita berbicara tentang “orang-orang Amerika”, yang dimaksudkan dengan itu lazimnya adalah penduduk “Amerika Serikat” dan bukan orang Kanada, Meksiko, Brazilia, Bolivia dll.

Sejauh yang mengenai Jerman sama saja. Menurut Hatta, di luar wilayah Kerajaan Jerman dan langsung diperbatasannya tinggal lebih dari 10 juta orang Jerman, diantaranya sebanyak 8 juta bersatu dalam satu negara terpisah, yaitu “Austria”. Apakah karena itu orang-orang Jerman dari “Kerajaan” itu tidak berhak menamakan tanahairnya dengan sebutan “Jerman”? Ternyata bila kita berbicara tentang “Jerman” dan “orang-orang Jerman” maka kita tidak akan ragu-ragu mengenai apa yang dimaksud dengan itu. Sebabnya ialah karena orang-orang Jerman di luar “kerajaan” itu menamakan dirinya lain, dan karena negara Jerman lainnya di tepi sungai Donau disebut “Austria”.

Setelah mengajukan contoh mengenai Amerika Serikat dan Jerman, Hatta mengajak Van Vollenhoven melihat kedudukan Indonesia. Orang-orang Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda telah menandaskan kehendaknya untuk menamakan tanahairnya “Indonesia” berdasarkan keturunan (ras) mereka. Kalau kita berbicara di dalam maupun di luar negeri tentang “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia”, maka yang selalu dimaksudkan dengan itu ialah negeri Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda dan penduduknya.

Mengingat di luar wilayah “Hindia Belanda” masih terdapat tidak kurang dari 15 juta orang Indonesia, apakah lalu orang-orang Indonesia berhak menamakan negerinya “Indonesia” kalau yang dimaksudkan dengan sebutan “Indonesia” itu adalah sinonim dari sebutan “Hindia Belanda”? Menurut Hatta, berdasarkan contoh tentang Amerika Serikat dan Jerman. Jawaban terhadap itu jelas, yaitu “tentu berhak!” sebab orang-orang Indonesia yang berada di luar wilayah “Hindia Belanda” itu tersebar dalam empat masyarakat negara atau jajahan yang masing-masing mempunyai nama yang berbeda-beda, yaitu “Filipina”, “Straits Settlements” (Malaka, Singapura, dll). “Borneo Inggeris” dan “Madagaskar”.

Bila demikian, demikian Hatta akhirnya, sebutan “Indonesia” betul-betul dapat dipakai sebagai nama ketatanegaraan dari “Hindia Belanda”. Orang-orang Indonesia sendiri – dan pada t ingkat terakhir inilah yang pokok – tidak mau menamakan tanahairnya yang kemerdekaannya mereka perjuangkan, lain dari “Indonesia” . Bilamana tanah tumpah darah sudah bebas dari kekuasaan Belanda, maka akan dinamakan juga “Indonesia”.

Memantapkan

Usaha memantapkan penerimaan sebutan “Indonesia” – baik secara ilmiah maupun secara politikal – sebagai pengganti sebutan “Hindia – Belanda” di Eropah ini bergema sampai ke pusat-pusat pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan di tanahair. Begitu rupa sehingga dalam konggresnya yang kedua di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda mengadakan sumpah bersama dan dalam kesempatan itu menggunakan kata “Indonesia” untuk menamakan sekaligus tanah air, bangsa dan bahasa persatuan. Pada penutupan, konggres yang bersejarah ini pemuda Wage Rudolf Supratman, melalui biola yang digeseknya sendiri, memperdengarkan lagu perjuangan yang digubahnya dengan nama “Indonesia Raya”. Sebagai tindak lanjut dari sumpah pemuda tahun 1928 ini, sepuluh tahun kemudian di Solo diadakan Konggres Bahasa Indonesia yang pertama. Setelah dicapai kemerdekaan, Negara-Bangsa, sebutan “Indonesia” dipakai untuk menyatakan “bahasa negara” (UUD 45, Pasal 36).

Akhirnya di tahun 1948, yaitu setahun sebelum Belanda terpaksa yang menyerahkan kedaulatan Kepulauan Nusantara kepada Negara-Bangsa Indonesia, ungkapan “Hindia Belanda” yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda diganti dengan sebutan “Indonesia”. Dengan begini pengakuan arti politik dan ketatanegaraan dari sebutan “Indonesia” di kalangan rakyat Belanda yang dengan gigih diperjuangkan oleh Hatta sejak tahun 1922 terwujud menjadi satu kenyataan 26 tahun kemudian.

Alangkah panjang dan sulitnya lika-liku jalan yang harus ditempuh oleh sebutan “Indonesia” untuk mendapatkan pengakuan dalam berbagai arti yang diperlukannya. Para pewaris Negara-Bangsa Indonesia dan generasi penerus seharusnya bangga bahwa nama negeri mereka tidak diberikan oleh seorang raja-penjajah menurut namanya sendiri – sebagaimana telah terjadi dengan sementara negeri jajahan yang kinii telah merdeka – tetapi lahir dalam otak ilmuwan-ilmuwan internasional untuk dikumandangkan di dunia ilmiah dan kemudian diperjuangkan oleh pemuda-pemuda nasional yang sekaligus terpelajar, cerdas, idealistik dan patriotik dalam politik ketatanegaraan guna mendapat tempat yang terhormat di barisan nama-nama Negara-Bangsa yang merdeka dan berdaulat di abad 20 ini.

INDONESIA

Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku,

INDONESIA

Kebanggaanku, Bangsa dan Tanah Airku

INDONESIA

Tanah Pusaka, Pusaka kita semuanya.

Marilah Kita Berseru

INDONESIA BERSATU

INDONESIA RAYA MERDEKA




(Dr. Daoed Joesoef, 1985)